Bagian pertama, Penduduk merupakan modal dasar pembangunan sebuah negara kendati sebagai pelaku utama sekaligus pengguna dari hasil – hasil pembangunan pemerintah.
Namun jumlah penduduk yang tidak seimbang, dalam arti komposisi penduduk yang didominasi umur muda dan distribusi penduduk antar wilayah tidak merata maka akan menjadi beban pembangunan.
Jumlah penduduk yang tinggi akan mendatangkan berbagai masalah sosial-ekonomi manakala tidak diimbangi dengan distribusi kesejahteraan yang memadai. Jumlah penduduk akan menjadi aset pembangunan kalau memiliki kualitas Sumber Daya Manusia yang memadai serta laju pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan serta direncanakan.
Pendidikan sebagai modal dasar kemajuan suatu bangsa, pendidikan sebagai salah satu cara untuk mencerdaskan hingga mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam teori pendidikan kita temukan pandangan seperti Plato misalkan melihat pendidikan itu sesuatu yang dapat membantu perkembangan individu dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat memungkinkan tercapainya sebuah kesempurnaan.
Menurut Plato pendidikan direncanakan dan di-program menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada murid hingga sampai dua puluh tahun, dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun, sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
Upaya memisahkan Pemilihan kepala daerah dari isu ekonomi, kemiskinan dan pendidikan.
Metode semacam ini mungkin terbaca pragmatis, tetapi kita mesti secara masuk akal meletakkan porsi mempercakapkan problem dan porsi tarung figur yang konotasinya sangat politis. Kenapa demikian? Saya coba menawarkan satu metode yang mungkin saja dianggap dungu oleh mayoritas kalangan yang mungkin saja terbiasa dengan menonton dan mempertontonkan citra dengan alibi pemaparan konsep gagasan, alih alih membaca permasalahan.
Lebih awal Pemilihan kepala daerah mesti diletakkan secara terpisah sebagai suatu peraktik politisi-politisi dalam pertarungan merebut kemenangan atau memenangkan kursi Bupati atau kepala daerah.
Sedangkan permasalahan didalam ruang lingkup kedaerahan atau lingkup administrasi kabupaten kota mesti dibicarakan terpisah, jika tidak dipisahkan pembacaan problem akan diambil alih oleh politisi demam panggung yang siap melahapnya dengan “gigi retorika dan airliur citra”.
Istilah ini coba saya pakai dalam upaya membongkar perilaku citra para politis. Sebagai metafor Marx misalkan menggunakan metode umum tesis sebagai titik tolak atau dalam fisika gaya reaksi yang dijelaskan secara kuantitatif oleh hukum ketiga Newton. Ketika suatu sistem mengeluarkan atau mengakselerasi massa ke satu arah, maka massa akselerasi akan menghasilkan gaya dengan ukuran yang sama besarnya tetapi dari arah yang berlawanan pada sistem tersebut.
Lebih jauh didalam perundang-undangan pemilihan umum tidak ada kewajiban yang mengikat setiap bakal calon atau calon bupati wakil bupati, artinya tidak ada satu standardisasi oleh regulasi yang mewajibkan calon bupati atau wakil bupati memaparkan prsoalan lalau menjawab prosolan dengan retorika atau tulisan yang dipertajam sedemikian rupa agar terlihat paham masalah dan mengerti solusinya.
Sesuai dengan Pasal 18 ayat 4UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Peraturan paling dasar ini menjelaskan ke kita bahwa tidak ada satu posis yang wajib oleh calon bupati memberi pandangan prsolana dan menjawab prsoalan didalam satu kemasan retorika.
Kalau kita pake tafsir undang undang pemilu Kampanye Pemilu yang disebut Kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, atau citra diri Peserta Pemilu.
Poinnya untuk meyakinkan pemilih, sederhana bawah ini kepentingan citra diri politis yang ikut serta dalam kepesertaan pemilu, sehingga bisa saja dibuat buta atau bahkan bisa saja di lebih -lebihkan.
Saya coba mengajukan metode yang ditawarkan Marx diatas ( tesis ) titik tolak, Ketika suatu kebisaan menghegemoni massa ke satu arah, dengan menggabungkan pemilihan kepala daerah dan kualitas membaca dan menjawab problem, maka tulisan ini memberi kita satu pandangan sederhana bahwa massa akselerasi atau massa pemilih akan menolaknya sebagai suatu kejujuran dan ke terus terangan, lebih jauh massa pemilih akan terpu dengan upaya citra politis dan meninggalkan subtnsi kulitas kepemimpinannya.
Dia Berkesimpulan bahwa didalam musim Pilkada Kabupaten Lembata akhir-akhir ini wahana politik Lembata memasuki babak pertama perhelatan pemilihan kepala daerah ( pemilihan bupati dan wakil bupati ), sebab pandangan ini muncul dari kalangan anak muda, pergulatan isu, pemaparan figur hingga kongsi dan tukar tamba koalisi partai mewarnai atmosfer politik Lembata.
Saya sengaja lebih awal memaparkan persoalan yang khas dan masi relefan dibahas hingga hari hari ini, sebagai suatu fakta bahwa untuk membaca problem tidak mesti hanya poltisi atau calon bupati yang hendak masuk ke tarung bebas pemilihan kepala daerah. Begitupun keadaannya bahwa rakyat ilmiah hingga rakyat kelas pendidikan terbatas pun mampu mencelotehkan persoalan.
Maksud saya bukan berarti setiap politis tidak mesti bernarasi, atau memaparkan kualitas pengetahuannya terhadap prosoalan dan sekompleks solusinya. Tetapi sekali lagi tulisan ini dimaksudkan untuk menyadarkan rakyat agar tidak lebih cepat menaruh harapan pada merka yang cakap dalam retorik, atau dengan opsi melihat dari sisi rekam jejak public figure.